Menu Navigation

05 March 2009

Relocation to Surabaya

Mendengar kata relokasi bikin kepala pening memikirkannya sebab aku yang notabene seorang istri yang harus pergi ke Surabaya untuk pindah lokasi kerja, bukan suamiku. Kebayang deh harus pisah ama suami yang biasanya bareng 24 jam karena emang kita sekantor :D . Ditambah kita dah ada rumah di Semarang (yang masih kredit ampe beberapa tahun kedepan), trus lagi berencana banget untuk mendapatkan momongan setelah 1,5 tahun pernikahan kita.
So, yang aku pikirkan sekarang adalah opsi-opsi berikut :
  1. Menerima relokasi ini dan jadi anak kos di Surabaya entah sampai berapa lama sambil berharap dipindahkan kembali ke Semarang (ngarep banget)
  2. Menerima dan pindah Surabaya beberapa waktu sambil cari kerjaan di Semarang (yang aku yakin hari gini susah cari kerjaan di Semarang)
  3. Resign sekarang juga dan jadi ibu rumah tangga (boring ga ya ntar-ntar kalo dah dijalani)
  4. Resign sekarang dan cari kerjaan di Semarang (yang belum pasti) atau memulai untuk bisnis (bisnis apa?)
  5. Suami ikut pindah ke Surabaya (relokasi ato cari kerjaan di sana) dan kita menetap di sana, trus rumah di Semarang di kontrakkan (lumayan buat bayar cicilan :D)
Tapi kalo suruh memilih aku pilih tetap tinggal di Semarang dengan kerjaan sekarang (lho kan gada di opsi ,wuhehehehe).
Yang jelas sampe sekarang aku masih berharap bahwa relokasi ini tidak akan pernah terjadi, soalnya ngebayangin dah “awang-awangen” kata orang Jawa. Tapi kalopun memang terjadi, so its time to move on from ‘comfort zone’ :((

02 March 2009

Desperado Housewives

Beberapa minggu ini banyak teman-teman yang curhat ke aku masalah rumah tangga mereka. Si A curhat soal suaminya yang sangat mengontrol dirinya, si R curhat suaminya jarang mau di ajak jalan. Sementara ada lagi si D yang curhat soal suaminya yang seorang polisi dengan jam kerja yang nyaris tiada libur sehingga suaminya jarang ada di sisinya. Lain lagi dengan pembantuku yang seorang janda. Dia hampir stress memikirkan anak cewek nya yang dipelorotin oleh cowoknya padahal mereka termasuk hidup dalam kekurangan. Dia pun curhat di depanku sambil menangis-nangis. Hmmm…..wanita emang kalo belum curhat belum plong ;)

Dan entah kebetulan or gimana, minggu kemarin suami tercinta memberikan aku sebuah buku “The Real Dezperate Housewives” karangan Asma Nadia. Gara-garanya pas “dapet” bulan kemarin (kata suami sih PMS :D) aku sebel, jengkel dan marah ama suami cuman karena masalah kecil. Sampai bawa-bawa perasaan dan situasi yang garing dalam rumah tangga kita. Hehehe…. Kata suami biar aku ga desperado (istilahku di rumah untuk desperate, ampe suami juga ikut-ikutan :D)

Ya wez deh aku baca buku itu (sebenernya belum selesai baca ;) tapi ada kalimat yang mengena banget dari buku itu. We all have the moments of desperation (Marry Alice, Desperate Housewives). Dari kalimat dan kisah-kisah di buku itu, aku cuma bisa kasih semangat ke orang-orang di sekelilingku termasuk si A, R dan D yang menurutku termasuk kategori desperado housewives ini. Dan dari pengalaman mereka, aku juga banyak dapet masukan sampai aku baru menyadari bahwa suamiku itu dah lebih dari segalanya (weleh pasti suamiku terbang deh). Suami yang sabar, mau nemeni kemana aku pergi, mau nungguin walo aku lagi jalan ama temen, ga protes kalo aku teledor, ga marah kalo istrinya belanja-belanji. Wuhehehe….. Pas aku bilang ke suami gitu dia cuma ngomong kok baru nyadar sekarang? Weleh pelan tapi dalem…. Yah jawabanku cuma simple aja, kadang kita butuh cermin untuk melihat diri sendiri. Jadi pengalaman temen yang desperado aku jadikan cermin aja buat diriku. Kita semua memang punya saat-saat desperado tapi coba lihat di sekeliling dulu, pasti kita akan menemukan jawabannya :D